Sabtu, 06 Januari 2018

Harga Rumah di Jabodetabek Kian Tak terjangkau

Rumah Murah Jabodetabek

Harga Rumah Semakin Tak Terjangkau Bagi Kelas Menengah

Sudah bukan rahasia lagi bahwa harga properti di kota-kota besar naik gila-gilaan. Di kawasan Serpong, Pamulang atau Cimanggis misalnya, kenaikan harga rumah tapak (landed house) bisa mencapai Rp 100 juta pertahun untuk tipe 36 dan 45. Rumah seharga Rp 300 juta pada tahun 2012 kini dijual tidak kurang dari Rp 700 juta. Kenaikan harga dengan margin berlipat-lipat yang sangat nikmat bagi investor, tetapi mencekik bagi masyarakat yang bercita-cita punya rumah.
Rumah Murah jabodetabek


Untuk merasionalisasikan premis yang dibuat pada judul di atas, penulis mengajak untuk menelisik survei yang dilakukan oleh Rumah123.com dan Karir.com. Survei ini dirilis pada 14 Desember 2016, seperti diberitakan oleh KOMPAS.com.
Berdasarkan data yang dihimpun, diketahui bahwa rata-rata gaji generasi millenial (kelahiran 1981-1994) yang menjadi objek survei adalah Rp 6.072.111/bulan (UMP Jakarta Rp 3.100.000). Sedangkan untuk merealisasikan impian memiliki rumah, paling tidak harus 30% dari gaji. Jika harga rumah paling murah adalah 300 juta, maka minimal gaji perbulan yang harus dikantongi sebesar Rp 7,5 juta.
Itupun akan sangat sulit mendapatkan rumah yang nyaman dengan rentang harga 300 juta di Jakarta. Paling hanya bisa dapat apartemen tipe studio atau rumah petak, kamar-kama mirip kos-kosan dengan ruang tamu dan dapur yang menyatu.
Di Jakarta, tren harga rumah naik 20% pertahun. Dalam lima tahun ke depan, harga rumah Rp 300 juta menjadi Rp 750 juta. Bandingkan dengan tren gaji yang naik hanya 10%.
Artinya, pada tahun 2021 ketika gaji naik menjadi Rp 12 juta, tagihan bulanan yang harus disiapkan untuk menyicil rumah seharga Rp 750 juta sudah 60% dari gaji alias tidak normal untuk kesehatan finansial. Seperti disebutkan di atas, beban kredit sebaiknya tidak lebih dari 30% gaji, dan ini biasanya menjadi syarat mengajukan KPR.
Oleh karena, tren residensial di Jabodetabek diprediksi beralih ke hunian vertikal seperti tren di kota-kota dunia. Apartemen akan merajai pasar properti, dan ini tampak dengan semakin maraknya pembangunan apartemen. Terutama di daerah-daerah dengan akses transportasi umum seperti KRL, TransJakarta atau MRT dan LRT yang tengah dibangun.
Di daerah Pamulang dan Bintaro misalnya, ada lusinan menara apartemen yang baru digarap dengan ribuan jumlah unit yang menyasar segmen menengah, terutama karyawan. Di BSD dengan tingkat kenaikan lahan mencapai 30% pertahun, pembangunan rumah tapak nampaknya akan disalip oleh apartemen. Di kawasan yang baru dikembangkan di Serpong, developer asal Jepang pun turut berburu untung membangun apartemen yang menyasar segmen atas.
Di Cimanggis, perbatasan Depok-Jakarta-Bogor, Agung Podomoro Land selaku pengembang besar yang biasanya menyasar segmen atas, kini melebarkan bisnis dengan membangun apartemen yang menyasar pasar menengah. Pelopor konsep real estate ini, membangun apartemen Podomoro Golf View dengan rencana sebanyak 35.000 unit.
Harga yang ditawarkan pun tergolong masih relevan dengan profil finansial millenial Jakarta yang disebutkan di dalam survei di atas. Yakni dilepas mulai dari Rp 198 juta untuk tipe satu kamar dan Rp 330 juta untuk tipe dua kamar. Harga terjangkau dan cenderung murah mengingat nama besar developernya tersebut, berkat keikutsertaan dalam program satu juta rumah murah yang digagas Presiden Jokowi.
Kawasan apartemen seluas 100 hektar ini digadang-gadang sebagai superblok modern yang mengusung konsep baru, yaitu berorientasi pada transportasi publik LRT. Podomoro Golf View nantinya memiliki stasiun LRT sendiri yang terhubung dengan sistem transportasi Jabodetabek: KRL, MRT dan Busway.
Apartemen seperti yang dibangun Agung Podomoro di Cimanggis tersebut menjadi opsi rasional bagi professional dan keluarga muda. Nah, jika generasi millenial atau kelas menengah masih memiliki opsi hunian terjangkau, lalu bagaimana dengan masyarakat yang berpenghasilan kurang dari Rp 3 juta/bulan dan tinggal di perkotaan?
Program sejuta rumah yang digalakkan pemerintah tidak bisa menjangkau mereka. Sejauh ini, rumah-rumah murah (bersubsidi) yang dibangun justru berada luar kota karena ditasbihkan mengentaskan backlog di pedesaan. Sementara entitas masyarakat perkotaan yang tak memiliki hunian permanen, juga tak bisa dianggap sepele. Kelompok inilah prioritas diberikan solusi hunian yang konkret.
Pilihan paling rasional bagi entitas berpenghasilan standar UMP ini, adalah subsidi hunian vertikal. Yaitu rumah susun yang dapat dimiliki permanen, bukan hanya disewa. Sebab mereka juga memiliki keturunan yang tentu ke depan membutuhkan hunian sendiri. Bagi pekerja di industri misalnya, pemerintah punya opsi menggalang kerja sama dengan pengelola kawasan industri atau instansi tempat mereka bekerja untuk membangun hunian.
Cuma persoalan “krisis” lahan di Jakarta, memang menjadi masalah tersendiri untuk membangun rusun bagi ratusan ribu, atau mungkin jutaan kategori masyarakat tersebut. Kelompok masyarakat bergaji standar UMP ini bisa saja dibuatkan rumah susun di luar kota Jakarta, akan tetapi mereka perlu diberikan jaminan bebas menggunakan jasa transportasi massal (macam KRL, MRT atau LRT) agar dapat beraktivitas di Jakarta.

Persoalan hunian di Jakarta mendesak dipecahkan. Bukan dengan dengan opsi-opsi temporer, tapi solusi permanen. Bila kelas atas dan memengah“di-handle”oleh swasta dengan banyak pilihan hunian yang pas, maka masyarakat bergaji standar UMP harus diurus langsung oleh pemerintah. Walau bagaimanapun, mereka adalah bagian dari masyarakat. Jika dibiarkan homeless, tentu saja hanya tinggal tunggu waktu melahirkan ledakan problem sosial turunan yang juga bakal menguras energi pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harga Rumah di Jabodetabek Kian Tak terjangkau

Rumah Murah Jabodetabek Harga Rumah Semakin Tak Terjangkau Bagi Kelas Menengah Sudah bukan rahasia lagi bahwa harga properti di kot...