Rumah Murah Jabodetabek
Harga Rumah Semakin Tak Terjangkau Bagi Kelas Menengah
Sudah bukan rahasia lagi bahwa harga properti di kota-kota
besar naik gila-gilaan. Di kawasan Serpong, Pamulang atau Cimanggis misalnya,
kenaikan harga rumah tapak (landed house) bisa mencapai Rp 100 juta pertahun
untuk tipe 36 dan 45. Rumah seharga Rp 300 juta pada tahun 2012 kini dijual
tidak kurang dari Rp 700 juta. Kenaikan harga dengan margin berlipat-lipat yang
sangat nikmat bagi investor, tetapi mencekik bagi masyarakat yang bercita-cita
punya rumah.
Rumah Murah jabodetabek |
Untuk merasionalisasikan premis yang dibuat pada judul di
atas, penulis mengajak untuk menelisik survei yang dilakukan oleh Rumah123.com
dan Karir.com. Survei ini dirilis pada 14 Desember 2016, seperti diberitakan
oleh KOMPAS.com.
Berdasarkan data yang dihimpun, diketahui bahwa rata-rata
gaji generasi millenial (kelahiran 1981-1994) yang menjadi objek survei adalah
Rp 6.072.111/bulan (UMP Jakarta Rp 3.100.000). Sedangkan untuk merealisasikan
impian memiliki rumah, paling tidak harus 30% dari gaji. Jika harga rumah
paling murah adalah 300 juta, maka minimal gaji perbulan yang harus dikantongi
sebesar Rp 7,5 juta.
Itupun akan sangat sulit mendapatkan rumah yang nyaman
dengan rentang harga 300 juta di Jakarta. Paling hanya bisa dapat apartemen
tipe studio atau rumah petak, kamar-kama mirip kos-kosan dengan ruang tamu dan
dapur yang menyatu.
Di Jakarta, tren harga rumah naik 20% pertahun. Dalam lima
tahun ke depan, harga rumah Rp 300 juta menjadi Rp 750 juta. Bandingkan dengan
tren gaji yang naik hanya 10%.
Artinya, pada tahun 2021 ketika gaji naik menjadi Rp 12
juta, tagihan bulanan yang harus disiapkan untuk menyicil rumah seharga Rp 750
juta sudah 60% dari gaji alias tidak normal untuk kesehatan finansial. Seperti
disebutkan di atas, beban kredit sebaiknya tidak lebih dari 30% gaji, dan ini
biasanya menjadi syarat mengajukan KPR.
Oleh karena, tren residensial di Jabodetabek diprediksi
beralih ke hunian vertikal seperti tren di kota-kota dunia. Apartemen akan
merajai pasar properti, dan ini tampak dengan semakin maraknya pembangunan
apartemen. Terutama di daerah-daerah dengan akses transportasi umum seperti
KRL, TransJakarta atau MRT dan LRT yang tengah dibangun.
Di daerah Pamulang dan Bintaro misalnya, ada lusinan menara
apartemen yang baru digarap dengan ribuan jumlah unit yang menyasar segmen
menengah, terutama karyawan. Di BSD dengan tingkat kenaikan lahan mencapai 30%
pertahun, pembangunan rumah tapak nampaknya akan disalip oleh apartemen. Di
kawasan yang baru dikembangkan di Serpong, developer asal Jepang pun turut
berburu untung membangun apartemen yang menyasar segmen atas.
Di Cimanggis, perbatasan Depok-Jakarta-Bogor, Agung Podomoro
Land selaku pengembang besar yang biasanya menyasar segmen atas, kini
melebarkan bisnis dengan membangun apartemen yang menyasar pasar menengah.
Pelopor konsep real estate ini, membangun apartemen Podomoro Golf View dengan
rencana sebanyak 35.000 unit.
Harga yang ditawarkan pun tergolong masih relevan dengan
profil finansial millenial Jakarta yang disebutkan di dalam survei di atas.
Yakni dilepas mulai dari Rp 198 juta untuk tipe satu kamar dan Rp 330 juta
untuk tipe dua kamar. Harga terjangkau dan cenderung murah mengingat nama besar
developernya tersebut, berkat keikutsertaan dalam program satu juta rumah murah
yang digagas Presiden Jokowi.
Kawasan apartemen seluas 100 hektar ini digadang-gadang
sebagai superblok modern yang mengusung konsep baru, yaitu berorientasi pada
transportasi publik LRT. Podomoro Golf View nantinya memiliki stasiun LRT
sendiri yang terhubung dengan sistem transportasi Jabodetabek: KRL, MRT dan
Busway.
Apartemen seperti yang dibangun Agung Podomoro di Cimanggis
tersebut menjadi opsi rasional bagi professional dan keluarga muda. Nah, jika
generasi millenial atau kelas menengah masih memiliki opsi hunian terjangkau,
lalu bagaimana dengan masyarakat yang berpenghasilan kurang dari Rp 3
juta/bulan dan tinggal di perkotaan?
Program sejuta rumah yang digalakkan pemerintah tidak bisa
menjangkau mereka. Sejauh ini, rumah-rumah murah (bersubsidi) yang dibangun
justru berada luar kota karena ditasbihkan mengentaskan backlog di pedesaan.
Sementara entitas masyarakat perkotaan yang tak memiliki hunian permanen, juga
tak bisa dianggap sepele. Kelompok inilah prioritas diberikan solusi hunian
yang konkret.
Pilihan paling rasional bagi entitas berpenghasilan standar
UMP ini, adalah subsidi hunian vertikal. Yaitu rumah susun yang dapat dimiliki
permanen, bukan hanya disewa. Sebab mereka juga memiliki keturunan yang tentu
ke depan membutuhkan hunian sendiri. Bagi pekerja di industri misalnya,
pemerintah punya opsi menggalang kerja sama dengan pengelola kawasan industri
atau instansi tempat mereka bekerja untuk membangun hunian.
Cuma persoalan “krisis” lahan di Jakarta, memang menjadi
masalah tersendiri untuk membangun rusun bagi ratusan ribu, atau mungkin jutaan
kategori masyarakat tersebut. Kelompok masyarakat bergaji standar UMP ini bisa
saja dibuatkan rumah susun di luar kota Jakarta, akan tetapi mereka perlu
diberikan jaminan bebas menggunakan jasa transportasi massal (macam KRL, MRT
atau LRT) agar dapat beraktivitas di Jakarta.
Persoalan hunian di Jakarta mendesak dipecahkan. Bukan
dengan dengan opsi-opsi temporer, tapi solusi permanen. Bila kelas atas dan
memengah“di-handle”oleh swasta dengan banyak pilihan hunian yang pas, maka
masyarakat bergaji standar UMP harus diurus langsung oleh pemerintah. Walau
bagaimanapun, mereka adalah bagian dari masyarakat. Jika dibiarkan homeless,
tentu saja hanya tinggal tunggu waktu melahirkan ledakan problem sosial turunan
yang juga bakal menguras energi pemerintah.